"Kenapa kau suka keluar saat hujan?" katanya setelah melihatku berlari menuju teras saat gerimis datang.
Dia hanya diam sambil ikut menarik nafas bersamaku. Entah mengapa, bagiku aroma hujan adalah obat. Dia bisa mengobati segala luka yang aku rasakan, apapun itu.
"Apa kau masih suka aroma hujan?" tanyanya saat aku kembali berlari keluar saat hujan datang.
Aku hanya mengangguk sambil menutup mata.
"Kalau kau harus memilih, kau pilih mana antara aku dan aroma hujan?" tanyanya sambil tersenyum memamerkan gigi taringnya yang panjang.
Aku tak menjawab, hanya menonjok kecil lengannya dan tertawa. Dia juga tertawa.
Dua bulan setelah itu aku tak bertemu lagi dengannya. Dia tak pernah datang lagi menemuiku. Patah hati. Itulah yang kurasa saat itu, saat dia tiba-tiba menghilang setelah membawa cintaku yang dalam. Saat itu juga aku mulai membencinya, entah kenapa aku benar-benar membencinya.
Hari itu sangat cerah, tapi ada gerimis di sana. Aku yang sedang menata koleksi bukuku dikagetkan oleh ketuk pintu yang kasar. Aku menghampirinya tergesa, dan saat kutahu siapa sosok di balik pintu, aku terdiam. Lama. Sangat lama. Kutatap matanya tajam, aku tunjukkan amarahku padanya. Tapi seketika aku terhanyut, aku hanyut oleh mata teduhnya. Tanpa tau kenapa, aku menangis.
"Hai.. apa kabar? apa aku masih kalah dari aroma hujan?" tanyanya dengan senyumnya yang khas.
Bodohnya aku hanya diam, dan malah tersedu mendengarnya. Sungguh. Aku benar-benar rindu padanya. Rasa rinduku bahkan lebih besar dari kecewa.
"Kenapa? apa kau sakit?" tanyanya lagi.
Entah betapa sibuknya dia, hingga wajahnya terlihat semakin kurus sekarang. Dia juga tak sesegar dulu, hanya senyumnya saja yang masih sama. Karena aku merasa bersalah padanya, aku berniat memberi kejutan padanya. Aku akan memasakan makanan kesukaannya, dia pasti suka.
Sore ini langit masih cerah, dihiasi warna mega yang tampak mempesona. Aku menunggunya di teras rumah, karena dia berjanji akan datang. Hampir 2 jam aku menunggunya, aku mulai kesal. Untuk pertama kali, aku beranikan diri pergi ke rumahnya.
Aku mendadak kaku, seluruh tubuhku kebas. Bendera kuning berkibar di sebelah pintu gerbangnya. Saat pintu itu terbuka, aku melihat tangisan pasrah ibunya. Ketabahan hati ayahnya. Penyesalan adik-adiknya. Perasaan kehilangan semua orang yang di sana. Aku mencarinya. Dimana dia? Aku belum berhasil menemukannya. Hingga seseorang datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. Dan berkata.
"Dia akan baik-baik saja di sana. Dia sudah berjuang keras. Ikhlaskanlah kak, aku tau dia sangat mencintaimu. Jangan buat dia sedih melihatmu seperti ini" katanya pelan. Dia memelukku erat, dan kami tersedu bersama.
Teh di tanganku kini tak lagi terasa, saat air mataku mendadak berjatuhan. Kenangan yang tak ingin kuingat ikut hadir sore ini. Saat dia pergi meninggalkan semua perasaan yang kini tak bertuan. Dan sejak saat itu, aroma hujan bukan lagi menenangkan. Tapi menyesakkan. Karena aku tak bisa mengobati rasa rindunya.
"Aku suka aroma ini, menenangkan" jawabku sambil menarik nafas panjang.
"Apa? aku pasti memilih aroma hujan. Aku tipe cewek yang setia bukan?" jawabku sambil mengedipkan mata jahil padanya.
"Kenapa baru datang? Kemana saja kau?" tanyaku masih dengan sisa tangisan.
"Emm.. akhir-akhir ini aku benar-benar sibuk. Ya. Aku sibuk sekali" katanya masih dengan tersenyum.
"Sungguh?" tanyaku penasaran.
"Ya.. aku benar-benar sibuk untuk mencoba tidak memikirkanmu" katanya yang membuat pipiku merah seketika.
"Aku tak ingin menang dari aroma hujan, karena aku pasti kalah. Tapi aku berjanji, saat kau mencium aroma hujan, saat itu pula aku merindukanmu. Jadi, kau juga harus rindu padaku" katanya lagi, kali ini terlihat dia sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar