Kamis, 16 Oktober 2025

Untuk Fra, Sekali Lagi

Sudah lama aku berjanji tak akan menulis tentangmu lagi, tapi setiap kali hujan jatuh di awal Oktober, namamu selalu lolos dari ingatanku yang pura-pura lupa.

Kau tahu, Fra, kita bahkan tak pernah jadi apa-apa. Tak ada janji, tak ada perpisahan, hanya tatapan yang sering terlalu lama, dan tawa yang menggantung di antara jeda obrolan di ruang komputer sekolah.

Aku masih ingat caramu memanggil namaku, biasa saja sebenarnya, tapi entah kenapa, dunia terasa sedikit lebih hidup setiap kali kau melakukannya.

Kini aku mendengar kabar, kau sudah menikah, dengan seseorang yang bukan aku. Kau tidak mengabari, padahal dulu sempat berjanji, kalau kau yang duluan, aku akan jadi orang pertama yang tahu.

Tapi tak apa.

Aku tetap menulis ini, bukan untuk menuntut janji, hanya untuk mengakui bahwa sebagian kecil hatiku masih berhenti sejenak setiap kali melihat namamu di daftar penonton story-ku.

Lucu, ya?

Kau masih diam di sana, tak lagi hadir, tapi tak juga benar-benar pergi.

Mungkin ini bukan cinta, hanya sisa-sisa rasa yang menolak mati.

Dan setelah tulisan ini, Fra, aku janji tak akan menulis tentangmu lagi. Bukan karena sudah benar-benar lupa, tapi karena akhirnya aku tahu, beberapa kenangan memang tidak untuk disembuhkan, hanya untuk diterima dengan tenang.

Rabu, 24 Juli 2024

Padahal Hampir Sembuh

Dingin, sepi, dan kepergian mentari. Tiga hal yang menjadikan malam semakin menyulut adegan-adegan menyebalkan di masa lalu. 
Suasana hati beserta dukungan semesta menghukumku hari ini. 

Padahal sudah hampir sembuh, tapi terlalu keras kepala untuk menggaruk-garuk dan mengelupas bekas luka yang telah kering itu. Alhasil apa? Lukanya datang lagi, berdarah lagi.. dan susah payah cari obatnya lagi. 

Benar memang, sesuatu yang bukan milikku tentu sampai kapanpun tetap tidak bisa menjadi milikku. Entah salah semesta atau mungkin salahku sendiri yang menjadikan cerita kita serumit ini. 


Menyesal? Ya, tentu saja sering muncul di kepala. Pertemuan-pertemuan yang seharusnya tidak usah terjadi sejak awal, obrolan basa-basi yang tidak usah terlalu asik, dan kenyamanan itu jangan sampai muncul. Kalau sudah begini, ya bisa di tebak hasilnya apa? Harapan-harapan muncul, ekspektasi berlalu lalang, imajinasi-imajinasi berhamburan. Salahnya siapa? Terlalu memakai hati sih? Tarlalu dalam pula. Hingga kesusahan naik ke permukaan. 

Kita sudah terlalu jauh, untuk kebetulan-kebetulan itu.

Menyalahkan garis interaksi? Buat apa? Salah sendiri tidak menghindar. Mau-maunya tenggelam dalam bualan-bualan indah yang memabukkan. Bukan menarikku ke luar, justru menenggelamkanku ke dalam kegelapan. 


Cemburu,
Marah.

Aneh, dua hal yang paling kubenci semenjak bertemu denganmu. Sakit sendiri, terluka sendiri, tapi tak ditemukan penyesalanpun di bola matamu. Harusnya aku sudah pergi sejak dulu, sejak pertama kali air mata kujatuhkan untukmu. Tapi apa? Kamu malah mendorongku semakin jauh, jauh tenggelam dalam kegelapan yang entah sampai kapan bisa aku hilangkan. Kegelapan yang menghantuiku setiap saat. Kegelapan yang menjelma sosok itu, sosok yang masih sama, sosok yang paling menyayat hatiku. 

Aku harus apa sekarang? 
Aku terlalu lemah,
Aku terlalu takut,
Aku terlalu bodoh mungkin.

Sepertinya satu-satunya cara. Hanya dengan mencintamu habis-habisan, secapek-capeknya. Hingga semuanya hilang, hancur berkeping-keping. Dan aku tak sadarkan diri, lalu terbangun di pagi hari yang cerah, dengan senyum baru, serta tanpa kamu. 

Tapi kapan itu? 
Padahal sudah hampir sembuh.

Setelah ini di tutup saja lukanya, biar tidak terlihat. Semoga cepat sembuh, dan pergi darimu. 

Rabu, 20 September 2023

Masih Kemarau

Kemarau masih belum usai, di bawah pohon dekat alun-alun kota aku termenung. Satu, dua, tiga, empat, ada empat bahkan lebih dedaunan coklat yang gugur di depan mataku. Pelan kuarahkan pandangku ke atas, ada banyak ranting yang kesepian. Mungkin sudah banyak kehilangan yang mereka rasakan. Dedaunan satu per satu pergi bersama angin, meninggalkan kekosongan yang entah sampai kapan akan pulih. 

Esoknya, aku kembali ke tempat kemarin. Kali ini tak sendiri, ada genggam laki-laki yang sangat kucintai.

Seperti kemarin, kumenatap ranting-ranting. Kupamerkan pada mereka bahwa aku tak lagi sendirian. Dengan satu senyuman lega, sekilas aku bisa menangkap senyum balasan dari mereka. Lalu aku menyadari satu hal. Mungkin sudah bertahun-tahun ranting itu merasakan sakitnya ditinggalkan, bukan hanya sekali dua kali, tapi setiap hari di satu musim. Anehnya, mereka tetap riang menanti dedaunan baru yang bersemi di musim hujan.

Jadi, begitu rupanya. Setelah berulang kali, definisi sakit tak sama lagi. Sesakit apapun kenyataan yang ada, kalau sudah merasa terbiasa, ya jadinya biasa saja. Masih bisa tersenyum, padahal baru saja terkoyak dalam-dalam. 

Lalu, kutoleh pemilik genggam hangat di tanganku. Kutatap matanya, dan tersenyum. Dia terlihat heran, dan aku menemukan seberkas penyesalan. Karena bagaimanapun sorot mata itu, aku tak bisa untuk tak mencintaimu. 

Kamis, 30 Juni 2022

Bicara tentang Hujan

Langit sedang mendung, mungkin sebentar lagi turun hujan. Lebat nggak ya kira-kira? Atau cuma gerimis aja? Kira-kira dua pertanyaan itu yang berkali-kali muncul di kepalaku. Padahal aku sedang tidak di luar, dan juga tidak ada jemuran. Tapi membayangkan bagaimana nanti hujan menunjukkan wujudnya, selalu membuatku bersemangat. Hujan adalah fenomena yang menyenangkan, walaupun sebenarnya aku benci kebasahan dan kedinginan. 

Menikmati hujan dari balik jendela, atau dari sisi lain yang tidak basah sudah menjadi salah satu hobiku sejak lama. Apalagi ditambah pemandangan bocah-bocah yang berlarian di tengah hujan sembari terdengar sayup-sayup teriakan ibunya dari dalam rumah. Damai. Hangat. Membahagiakan.

Ya, jadi begitulah hujan kataku.

Sabtu, 26 Februari 2022

Aku Heran karena Mencintaimu

Terkadang melihat melihat senyummu juga menjadikan luka, entah karena aku terlalu egois atau karena alasan klasik karena takut kehilanganmu. Bagaimana bisa aku hanya menginginkan senyummu tertuju padaku, tanpa boleh kau berikan pada orang lain termasuk teman-temanmu. Aku sangat sadar bahwa apa yang aku lakukan itu salah, dan memang tidak seharusnya ada dalam hubungan kita. Tapi, aku masih tidak terima jika senyum manismu juga dinikmati oleh mata selain mataku. Tapi tenang, aku akan mengurangi sedikit egoku. Asalkan, kamu harus janji untuk tidak sembarangan tersenyum pada orang lain, kalau tidak sengaja dan memang harus baru tidak apa-apa.

Kadang kala ketika mengingat saat pertama kali berbagi cerita denganmu, membicarakan hal-hal yang tentu saja sejak awal tidak terlihat di matamu. Topik obrolan yang tentu saja tidak sesuai dengan raut wajahmu. Ternyata memang benar, jangan pernah menilai orang dari luarnya saja. Itu berlaku juga padamu, yang terlihat begitu dingin di luar tetapi sebenarnya kamu menyembunyikan kehangatan yang mungkin banyak orang yang tidak menyadainya. 

Entah berapa kalipun kupikirkan. Aku masih tetap heran, bagaimana aku sebegitu mencintaimu dengan gilanya, hingga hari ini. 

Senin, 21 Februari 2022

Aku Juga Sama

Kebahagianmu adalah nomor satu, bagaimanapun juga aku telah berjanji pada langit untuk menjagamu dengan baik. Bahkan ketika kamu lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temanmu dari pada denganku. Karena dengan melihatmu bahagia, aku masih punya alasan untuk tersenyum juga. Ketika kamu sedang tidak baik-baik saja, aku mencoba membiarkanmu bersenang-senang, walaupun aku tau senang bagimu tidak cukup hanya denganku. Maka aku, kembali melepasmu bersama teman-temanmu.

Namun kali ini aku tidak perlu banyak berkorban, karena hari ini sepertinya aku yang tidak baik-baik saja. Tapi, lagi-lagi kamu yang uring-uringan meributkan sesuatu yang harusnya tidak cocok menjadi alasan untuk pertengkaran ini. Alhasil aku kembali melepasmu bersenang-seneng brsama teman-temanmu, padahal di sini aku juga sedang tidak baik-baik saja. 

Selasa, 17 Agustus 2021

Fra (Saatnya Membuka Kunci Luka Ini)

Kali ini aku percaya Fra, ketika segenggam luka tidak terlalu digenggam maka ia akan terlepas sendirinya. Begitu pula dengan sekotak luka yang pernah kamu hadiahkan padaku waktu hujan terakhir di hari Minggu sebelum perpisahan itu. Dulu aku menyimpannya rapat, menyembunyikan kuncinya, dan menutupi rupanya, agar orang-orang tidak pernah menemukannya. Karena aku hanya ingin kamu seorang, hanya ingin kamu yang membukanya dan mencoba menyembuhkannya. Namun, sampai saat aku menulis kalimat tadi, belum ada tanda-tanda kamu akan kembali, bahkan bayangmu tidak pernah kelihatan lagi setelah kamu memaksaku untuk menghentikan semua perasaan itu. 

Dan apa kau tau Fra? Setelah beberapa kali aku tertampar kenyataan, aku masih terus-terusan berkhayal untuk selalu berada di sampingmu. Kalaupun harus jauh darimu, aku hanya ingin sebatas ujung penglihatan matamu. Karena memang begitulah rasaku padamu, ketika kamu meminta hatiku untuk pertama kalinya, aku langsung memberimu semuanya tanpa tersisa. Kamu sangat beruntung Fra, sedang aku masih terus-terusan mencoba berlapang dada melepaskan hatimu yang kamu minta untuk dikembalikan.

Tapi hari ini berbeda, entah karena angin apa aku memutuskan untuk membuka kotak luka itu. Membiarkannya terbang bersama angin dingin pagi hari, di bawah tatapan langit yang ikut-ikutan sendu. Awalnya memang berat, tapi setelah isi kotaknya lenyap ternyata aku bisa baik-baik saja. Sepertinya luka-luka yang kusembunyikan bukan darimu, tapi dariku yang sejak awal tidak berani membuka kunci itu. Pantas saja mereka meronta-ronta ingin keluar bersama air mata setiap aku mengingat punggungmu yang menjauh hari itu. Andai saja aku paham, sudah sejak lama aku lepas, bahkan sejak melepas langkahmu menjauh untuk pertama kalinya. Agar tidak hanya hatiku yang kamu kantongi dan bawa pergi, tapi luka-luka yang tercipta semenjak aku memutuskan mencintamu. 

Ternyata melegakan Fra, ketika menatap isi kotaknya kosong aku sedikit bahagia. Iya sedikit, karena bahagiaku yang terbanyak hanya saat bersamamu. Tapi untungnya masih ada yang tersisa, bukankah kata pepatah "sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit", jadi aku akan mulai memberanikan diri membagi hal sedikit itu pada orang yang kini sedang mencoba memupuk kembali hatiku, agar tumbuh subur, dan kemudian disirami dengan cinta agar berbunga bersamanya. 

Jadi, tujuanku menulis kali ini adalah mengucapkan selamat tinggal padamu yang memang terlalu telat untuk aku ucapkan. Semoga kamu bahagia di sana, dan aku harap jangan pernah kembali lagi. Lupakan permintaan konyolku waktu itu, dan tetaplah pada arah kisahmu.

Dan aku, akan mencoba menjadi kuncup untuk nantinya bisa mekar tanpamu. Kini aku tak akan lagi menulis namamu di judul tulisanku, selamat tinggal dan jangan ada kata "sampai jumpa". Karena perjuangan membuka kunci luka amat sangat berat. 

Fra, kita selesai. 

Untuk Fra, Sekali Lagi

Sudah lama aku berjanji tak akan menulis tentangmu lagi, tapi setiap kali hujan jatuh di awal Oktober, namamu selalu lolos dari ingatanku ya...