Sudah lama aku berjanji tak akan menulis tentangmu lagi, tapi setiap kali hujan jatuh di awal Oktober, namamu selalu lolos dari ingatanku yang pura-pura lupa.
Kau tahu, Fra, kita bahkan tak pernah jadi apa-apa. Tak ada janji, tak ada perpisahan, hanya tatapan yang sering terlalu lama, dan tawa yang menggantung di antara jeda obrolan di ruang komputer sekolah.
Aku masih ingat caramu memanggil namaku, biasa saja sebenarnya, tapi entah kenapa, dunia terasa sedikit lebih hidup setiap kali kau melakukannya.
Kini aku mendengar kabar, kau sudah menikah, dengan seseorang yang bukan aku. Kau tidak mengabari, padahal dulu sempat berjanji, kalau kau yang duluan, aku akan jadi orang pertama yang tahu.
Tapi tak apa.
Aku tetap menulis ini, bukan untuk menuntut janji, hanya untuk mengakui bahwa sebagian kecil hatiku masih berhenti sejenak setiap kali melihat namamu di daftar penonton story-ku.
Lucu, ya?
Kau masih diam di sana, tak lagi hadir, tapi tak juga benar-benar pergi.
Mungkin ini bukan cinta, hanya sisa-sisa rasa yang menolak mati.
Dan setelah tulisan ini, Fra, aku janji tak akan menulis tentangmu lagi. Bukan karena sudah benar-benar lupa, tapi karena akhirnya aku tahu, beberapa kenangan memang tidak untuk disembuhkan, hanya untuk diterima dengan tenang.