Disaksikan senja yang sebentar lagi
berubah jadi gelap, bersamaan dengan burung-burung yang pulang ke sarangnya, ia
pun tercengang. Dilihatnya wajah biru ibu dan ayahnya yang tak bisa lagi
mempertahankan genggaman pada lengannya. Cairan merah yang mengalir dari
dahinya tak kental lagi karena bercampur oleh air mata penyesalan. Ia tatap
mata kedua orang tuanya yang terpejam, ia usap rambut kedua orang tuanya yang
kini bersimbah darah. Pandangannya pudar, seketika pula dia tertunduk. Pilu.
Lama ia merangkai keping-keping
peristiwa yang ia lalui sore itu. Sebagai bocah 6 tahun yang baru mulai
bersekolah, kejadian mengerikan itu bagai tumpahan tinta hitam pada lukisan
gambar pelangi kesukaannya, yang ia banggakan di hadapan ibu dan ayahnya saat
malam sebelum berangkat tidur.
Perlahan ia mendongak, tatapan sucinya
kini berubah murka. Ia bukan lagi bocah polos yang hanya mengagumi cerita
kesatria baik hati seperti dongeng yang selalu dibacakan ibunya setiap malam.
Ia memandang lelaki berotot yang masih menggenggam pistol petaka itu. Bersamaan
dengan tawa lelaki itu, ia berteriak. Kencang. Begitu kencangnya, hingga
menghentikan tawa lelaki berotot yang kini menatapnya mengerikan.
Dengan geram lelaki itu mencengkeram
tangannya, menatap tajam dan mencondongkan pistol ke dahinya. Ia diam, tapi
matanya masih menyorotkan dendam. Hingga dari kejauhan terdengar suara sirine
polisi yang semakin lama semakin keras. Detik itu pula, ia kehilangan kesadaran
dan tak lagi bisa membuka mata. Ia kesakitan, tapi ada senyum di bibirnya.
Karena ia merasakan genggam hangat tangan kedua orang tuanya.
Langit
sangat indah sore itu, bersamaan dengan renjana biru dan embus angin yang
sejuk. Sayangnya, lukisan angkasa ternodai oleh bercak merah tak berdosa keluarga
baru yang merana. Tapi tak apa, kini sakit mereka telah reda. Kolase telah
terbentuk, warna biru dengan semburat jingga menambah indahnya. Mereka bertiga
tertawa, melangkah ringan menuju cahaya di hadapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar