Minggu, 28 Oktober 2018

Kolase dalam Renjana Biru


Disaksikan senja yang sebentar lagi berubah jadi gelap, bersamaan dengan burung-burung yang pulang ke sarangnya, ia pun tercengang. Dilihatnya wajah biru ibu dan ayahnya yang tak bisa lagi mempertahankan genggaman pada lengannya. Cairan merah yang mengalir dari dahinya tak kental lagi karena bercampur oleh air mata penyesalan. Ia tatap mata kedua orang tuanya yang terpejam, ia usap rambut kedua orang tuanya yang kini bersimbah darah. Pandangannya pudar, seketika pula dia tertunduk. Pilu.

Lama ia merangkai keping-keping peristiwa yang ia lalui sore itu. Sebagai bocah 6 tahun yang baru mulai bersekolah, kejadian mengerikan itu bagai tumpahan tinta hitam pada lukisan gambar pelangi kesukaannya, yang ia banggakan di hadapan ibu dan ayahnya saat malam sebelum berangkat tidur.

Perlahan ia mendongak, tatapan sucinya kini berubah murka. Ia bukan lagi bocah polos yang hanya mengagumi cerita kesatria baik hati seperti dongeng yang selalu dibacakan ibunya setiap malam. Ia memandang lelaki berotot yang masih menggenggam pistol petaka itu. Bersamaan dengan tawa lelaki itu, ia berteriak. Kencang. Begitu kencangnya, hingga menghentikan tawa lelaki berotot yang kini menatapnya mengerikan.

Dengan geram lelaki itu mencengkeram tangannya, menatap tajam dan mencondongkan pistol ke dahinya. Ia diam, tapi matanya masih menyorotkan dendam. Hingga dari kejauhan terdengar suara sirine polisi yang semakin lama semakin keras. Detik itu pula, ia kehilangan kesadaran dan tak lagi bisa membuka mata. Ia kesakitan, tapi ada senyum di bibirnya. Karena ia merasakan genggam hangat tangan kedua orang tuanya.  

Langit sangat indah sore itu, bersamaan dengan renjana biru dan embus angin yang sejuk. Sayangnya, lukisan angkasa ternodai oleh bercak merah tak berdosa keluarga baru yang merana. Tapi tak apa, kini sakit mereka telah reda. Kolase telah terbentuk, warna biru dengan semburat jingga menambah indahnya. Mereka bertiga tertawa, melangkah ringan menuju cahaya di hadapannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Fra, Sekali Lagi

Sudah lama aku berjanji tak akan menulis tentangmu lagi, tapi setiap kali hujan jatuh di awal Oktober, namamu selalu lolos dari ingatanku ya...