Kamis, 02 Juli 2020

Maafkan Aku

Maafkan aku,
karena setiap malam menjemput,
setiap senja mulai berpamitan,
setiap rembulan mulai mengintip pelan-pelan,
aku masih merindukanmu.

Bukan perkara mudah untuk cepat-cepat berpaling darimu,
yang sungguh-sungguh aku titipkan rasa untuk dijaga.
Namun, sayangnya aku salah memilih orang.

Karena kamu sejak awal memang hanya ingin singgah.
Tak ingin lama-lama,
untuk menggenggam hal yang seharusnya tidak kamu miliki.

Tapi,
untuk apa janji-janji yang kamu ucapkan waktu itu?
Di depan kios kosong,
saat kita berdua menyelamatkan diri dari kebasahan yang tak nyaman.

Kamu bilang membahagiakanku?
Untuk apa semua itu,
kalau hasilnya kado terindah yang kamu beri,
hanya rasa sakit yang paling tidak tahan untuk aku pegangi.

Atau memang definisi bahagia dalam kepala kita berbeda?
Apa memang bahagia yang kamu maksud adalah melihatku
menitikkan air mata di hadapanmu yang dengan tidak berdosanya
menggenggam perempuan itu?

Lalu, untuk apa waktu-waktu yang kamu relakan
untuk kujadikan sebuah cerita harus ada?
Jika pada akhirnya,
yang kamu jadikan pelabuhan bukan hatiku.

Mungkin memang bukan salahmu,
aku saja yang terlalu mudah jatuh dalam dirimu,
yang dengan cerobohnya menitipkan rasa
yang ujung-ujungnya kamu biarkan hilang
karena tergeletak tak bertuan. 

Baiklah, aku paham,
bahwa sesungguhnya sejak awal hanya pura-pura.
Kamu jadikan aku tempat istirahat sementara
ketika kamu lelah menunggu kapal yang kamu ajak berlayar
tak kunjung datang.

Aku hanya bisa tertawa,
melihat ombak di pantai mengejekku keras-keras.
Katanya aku terlalu bodoh untuk kamu yang pandai permainkan rasa.
Semesta kamu buat bertekuk lutut untuk membantumu,
mengotori kanvas-kanvas lukisanku.

Padahal aku kira langit biru atau hijau daun
yang kamu goreskan.
Ternyata hanya tumpahan tinta hitam yang merusak segalanya.

Sekali lagi,
kamu tak salah
dan akupun tak menyalahkanmu.
Tapi aku masih ingin terus memarahimu.

Jika pada akhirnya pertemuan tiba-tiba,
menjadikanmu pergi dengan tiba-tiba pula.
Aku tak ingin mengatakan hal yang
menjadikanmu tokoh ceritaku sampai detik ini.

Ketidaksengajaan yang aku kira sebuah takdir yang indah,
malah menjadikanmu terlihat jahat dan baik dalam satu waktu.

Mungkin waktu sudah banyak membantuku,
mengubur kenang satu per satu,
yang dulu sempat kita bangun tanpa ragu-ragu.
Sayangnya, ia tak cukup kuat menghapus tinta-tinta tebal
yang kamu coretkan waktu itu.

Kepergianmu memang sangat tidak adil.
Dengan tiba-tiba tanpa ada ucapan selamat tinggal,
atau sekedar lambaian tangan.
Kamu hanya meninggalkan sikap dingin dan menjelma menjadi asing
saat berpapasan denganku.

Lagi,
untuk apa kamu ikut membangun perasaan yang pada akhirnya,
kamu lupakan begitu saja?
Apa sebegitu tidak berharganya segenggam tawa
yang kita ciptakan waktu itu?

Aku jadi bertanya-tanya,
apa memang kamu hanya menjadikanku lelucon semata?
Yang dengan mudahnya kamu buat bahagia lalu
kamu tinggalkan begitu saja.

Maafkan aku,
meski berkali-kali kamu hancurkan dan remukkan,
hatiku masih keras kepala merindukanmu.
Dan mengingat saat kita tertawa bersama
di bawah siluet senja yang mempesona.
Seperti dirimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Fra, Sekali Lagi

Sudah lama aku berjanji tak akan menulis tentangmu lagi, tapi setiap kali hujan jatuh di awal Oktober, namamu selalu lolos dari ingatanku ya...