Pada terik yang mengantarkan senyum di wajahmu, aku sungguh-sungguh ingin mengabarkan. Bahwa kepergianmu yang terjadi satu hari setelah hari Minggu adalah sama sekali bukan salahmu. Karena sejak awal aku memang tidak punya hak untuk membuatmu tinggal. Aku bukan rumah, jadi tidak heran kalau kamu tidak menjadikanku alasan untuk pulang. "Bukankah pulang belum tentu selalu menuju rumah?" Tanya seekor burung Dara yang suka bertengger di ranting pohon dekat jendela kamarku. Kamu tau apa jawaban yang aku berikan? Tentu saja aku diam, karena tanpa dirimu, tak ada kata yang berhasil menjadi kalimat. Semua jadi samar-samar dan hanya mengambang di udara lalu hilang bersama angin yang juga membawa dedaunan kering bermigrasi.
Ketika malam telah mengintip lewat lubang kecil di tembok kamarku, aku baru menyadari, bahwa seharian ini tak ada apapun yang kulakukan selain mengingat kepergianmu, yang tentu saja hanya menjadi kisah pilu bagiku. Karena bagi dirimu, itu bukan sebuah kepergian, hanya sebuah peristiwa ketika kita tak akan bertemu lagi. Sepertinya definisi yang ada di kepalamu tidak memberikan rasa nyeri yang berkepanjangan bukan? Benar bukan? Kamu bahkan terlihat bersemangat ketika meninggalkan ujung mataku yang terus menatap punggungmu menjauh.
Dalam setiap hela yang aku embuskan, aku tidak pernah bisa melupakan segala rasa yang kamu ciptakan untuk menghilangkan segala kegundahan, yang ujung-ujungnya malah makin membara semenjak kamu pergi. Entah apa yang membuatku terlalu dalam tertarik olehmu, bahkan tak sedetikpun aku bisa melupakan segala macam tentangmu. Bahkan desah napasmu pun aku sangat hapal. Sebenarnya, ramuan apa yang kamu berikan padaku hingga aku bisa jatuh padamu dengan terlalu. Jika ramuan itu terlalu manjur, seharusnya kamu berikan penawarnya sebelum kamu memutuskan untuk tak lagi bertemu denganku. Agar aku tidak terus-terusan lapar oleh manisnya senyummu, agar aku tak lagi haus oleh kata-kata indahmu, agar dirimu tak lagi menjadi alasan hilangnya dahagaku.
Bukankah jika begitu aku pantas menyebutmu egois? Sepertinya tidak boleh, karena pada paragraf pertama aku sudah bilang bahwa semua ini bukan salahmu. Tentu aku tidak boleh mengkhianati kata-kataku sendiri, agar kamu juga percaya bahwa rasaku padamu tak pernah berpindah-pindah. Selalu pada tempat pertama, di relung terdalam. Jadi, Fra, apa kamu benar-benar tak akan kembali? Walaupun aku tau tidak ada kata itu dalam kalimat-kalimat perpisahan yang kamu lisankan sebelum melepas genggaman itu. Jika memang begitu, aku akan menyerah menantimu. Tapi, untuk menyerah pada rasaku padamu, jujur saja aku tak pernah bisa. Karena bagiku, Fra adalah salah satu kepingan hidup Jana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar