Sedang
gerimis malam ini, lampu-lampu jalan terlihat sendu. Udara malam perlahan
memeluk tubuh ini, meninggalkan kekosongan yang begitu menyakitkan. Apa kabar
kamu? Laki-laki yang dulu pernah mengorbankan jaket kesayangannya untuk menahan
hujan agar tidak berani mengecupku. Laki-laki yang memaki angin, hingga ia tak
sempat mencolek sedikitpun tubuh mungilku. Harapanku selalu sama, semoga kamu
baik-baik saja. Dari dulu, sampai sekarang. Dari saat di mana kamu menorehkan
luka-luka yang tak berbekas namun sakitnya bertahan sampai sekarang, aku masih
selalu berharap kamu baik-baik saja.
Sekarang pukul delapan malam tepat, tidak lebih dan tidak kurang. Aku menatap rintik yang jatuh, yang awalnya pelan hingga kencang dan penuh kegaduhan. Anehnya, aku masih merasa kosong. Entah itu karena aku sedang sendiri, atau karena hatiku telah kamu bawa lari? Sepertinya, alasan kedua lebih tepat, atau dua-duanya memang tepat.
Aku tarik selimut yang sempat aku lemparkan jauh dari kakiku, tadinya belum sedingin sekarang. Aku baca lagi surat-surat darimu, aku baru sadar kalau semuanya hanya berarti di mataku, bukan di matamu. Jadi ini yang membuatmu pergi? Karena memang sejak awal kamu tidak berniat untuk tinggal. Tapi untungnya, kamu masih mau singgah, walau hanya sebentar.
Aku melirik jam dinding di dekat sudut kamarku, sudah pukul sepuluh ternyata, walau masih kurang setengah menit lagi. Pantas saja, hujan di luar sudah tidak lagi terdengar. Aku terlalu sibuk hanyut dalam kenangan hingga lupa pukul berapa hujannya berhenti. Padahal aku punya janji mengabarkannya pada bintang-bintang yang menanti di balik awan mendung. Tapi, sepertinya bulan sudah menggantikanku, buktinya telah kulihat beberapa kerlip di langit saat ini. Dan sekali lagi wajahmu ikut muncul, kini dengan senyum bahagia di lengkapi lukisan gemintang yang mewakili sinar matamu. Seketika itu, aku jatuh cinta lagi.
Cahaya
hangat tiba-tiba mengecup keningku. Sudah pagi ternyata, dan aku ketiduran di
dekat jendela yang mungkin dari semalam masih terbuka lebar. Lalu, benakku
kembali mengingat pertanyaan itu. Apa kabar kamu? Pertanyaan yang setiap hari
kulontarkan walaupun tak sekalipun kamu menjawabnya. Mungkin sekarang itu akan
menjadi kebiasaan, menanyakan kabarmu akan menjadi kebiasaan baruku. Dan yang
namanya kebiasaan, jika tidak dilakukan akan terasa tidak nyaman. Jadi, biarkan
aku selalu menanyakan kabarmu, berapa kalipun tolong ijinkan aku. Karena hanya
itu satu-satunya caraku menyembuhkan luka-luka yang pernah kamu berikan. Dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar