Sabtu, 30 September 2017

Hati yang Berputar

“Tania.. sini?” teriak gadis berambut panjang sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Namanya Cia, aku kenal baik dengan dia. Dia teman satu divisi di OSIS. Aku hanya melempar senyum dan berlari ke arahnya. Dia membalas senyumku dengan ramah. Ini adalah hari pertama tahun ajaran baru, tepatnya kini sudah penjurusan. Aku masuk jurusan IPA, dan di tempatkan di kelas nomor 4. Isi kelasku sangat terlihat baru, aku bersyukur Cia satu kelas denganku setidaknya aku bisa punya teman ngobrol. Sebenarnya aku senang masuk jurusan IPA, jurusan yang sangat aku inginkan. Tapi sedihnya, aku tidak lagi sekelas dengan teman-temanku kelas 1 dulu dan tidak sekelas lagi dengan sahabat pertamaku di SMA. Dimas. Karena dia masuk jurusan IPS, tapi tak apalah yang penting kita masih sering bareng-bareng. “Hei.. kok jadi bengong?” teriak Cia tepat di telingaku. Aku hanya gelagapan menanggapinya. Di membalasku dengan tawa penuh ejekan. Dia sangat nyaman di sini, mungkin karena sudah banyak yang dia kenal dan dia juga tipe orang yang super aktif, kebalikan dari sifatku yang kurang cepat beradaptasi. “Hai” suara seseorang di belakang tempat dudukku. “Hai” dia mengulang lagi sambil mencolek pundakku. Sontak aku langsung menoleh. Tepat saat itu dia tersenyum padaku. Sangat ramah. Atau bisa dibilang sangat lembut. “Hai.. aku Rey. Kamu Tania kan?” katanya masih dengan senyum yang bagiku lumayan manis lah. “Loh.. kok tau namaku?” jawabku agak kaget. “Ya taulah. Orang cewek berisik di sebelah kamu tadi manggil kamu Tania” katanya lagi, tapi kini disusul tawa ringan. Aku hanya ikut tertawa. Lucu juga cowok ini. Batinku.

Saat jam pulang sekolah, aku menunggu Dimas seperti biasa di parkiran. Karena rumah kita searah, jadi Dimas memaksaku untuk menemaninya. Biar nggak di kira jomblo katanya. Sebenarnya tadi Cia menemaniku, tapi karena mamanya sakit jadi dia harus buru-buru pulang. Sebenarnya aku paling benci menunggu. Tapi mau gimana lagi, naik bus juga nggak berani kalau sendiri. “Kok belum pulang?”. Aku langsung mendongak. “Oh.. Rey, iya nih. Masih nunggu temen” jawabku sambil kembali memainkan ponselku. “Temenmu kelas apa? Kok belum keluar-keluar” katanya lagi sambil duduk di sebelahku. “Anak IPS, IPS 2” jawabku lagi. “Ohhh.. tadi sih aku liat masih ada guru yang ngajar. Tapi mungkin habis ini udah keluar” katanya sambil meraih ponsel di sakunya. “Semoga saja” jawabku agak malas. Sebenarnya malasku bukan karena dia, tapi karena kelamaan nungguin si Jerapah bodoh Dimas. “Eh iya.. boleh minta….” belum selesai aku mendengar ucapannya. Suara yang membuat kesalku agak mereda terdengar. “Hai.. Kelinci bulet. Udah lama ya nunggunya?” katanya dengan senyum sok manis. “Lama banget. Capek tau nungguin” jawabku pura-pura ngambek. “Iya iya maaf.. tadi gurunya banyak omong sih” katanya sambil mengusap kepalaku. “Bodo” jawabku tambah kesal. “ Jangan ngambek dong. Hari ini dapet es krim coklat deh kalau nggak ngambek lagi”. Dimas selalu berhasil membuatku tidak jadi marah padanya. Aku langsung senyum lebar yang disambut cubitan lembutnya di hidungku. Lalu kami berjalan berdampingan ke motornya Dimas. Di perjalanan pulang aku menyadari sesuatu. “Astaga” teriakku kaget. “Kenapa? Ada yang ketinggalan?” sahut Dimas agak khawatir. “Enggak, tadi aku lupa pamitan sama temenku yang tadi nemenin aku nunggu kamu. Duh jadi nggak enak. Padahal dia tadi belum selesai ngomong” gerutuku menyalahkan diri sendiri. “Oh cowok tadi temenmu. Pantesan dia ngeliatin kita terus” katanya ambil tertawa. “Ngambek beneran tau” jawabku sambil memukul helmya. Dia hanya mengaduh sambil tertawa kecil.

Esoknya saat sampai di kelas, aku langsung mencari sosok Rey. Bangkunya masih kosong. Sepertinya dia memang belum datang. Aku langsung duduk di bangkuku sambil membaca novel. Cia hari ini absen karena harus menemani mamanya di rumah sakit. Jadi aku duduk sendiri. Saat aku tenggelam dalam novel, seseorang terlihat duduk di bangku Cia. Aku mendongak. “Pagi” katanya sambil tersenyum. “Pagi Rey” jawabku sambil membalas senyumnya. “Oh iya Rey, sorry ya kemarin aku nggak sempet pamitan sama kamu gara-gara si Jerapah bodoh” kataku lagi sambil memasang muka kesal. “Santai aja.. nggak papa kok. Ngomong-ngomong si Jerapah bodoh? Maksudnya pacar kamu yang kemarin?” katanya terkekeh. “Amit-amit pacaran sama dia. Kami cuma sahabatan Rey. Itu juga udah musibah” kataku sambil tertawa. Dia hanya ikut tertawa. “Oh iya, kamu kemarin mau ngomong apa?” tanyaku lagi. “Oh.. enggak, cuma mau minta pin BBM aja. Kita kan sekelas jadi penting punya kontak teman satu kelas” jawabnya sambil kembali tersenyum. Apa hobinya emang senyum ya. “Oh.. iya nih” kataku sambil menunjukkan pin-ku padanya. 

Semenjak itu kami jadi sering ngobrol di kelas, dia juga sering mengirim pesan. Bahkan rutin telepon setiap malam. Semakin hari kita semakin dekat dan aku mulai merasakan sesuatu yang aneh saat aku bersama Rey. Hari berganti bulan, hubunganku dengan Rey semakin dekat. Tapi masih belum terlepas dari kata teman. Dan perasaanku semakin besar, hingga aku berani berharap. Rey selalu menunjukkan sikap lembut dan berbeda kepadaku. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda status teman bergerak naik satu level. Aku bimbang, aku tidak ingin berharap tapi aku juga tidak bisa lari dari tatapan lembutnya, dari senyum manisnya. Hubunganku dengan Dimas juga semakin renggang, saat aku memberi tahunya tentang peraaanku kepada Rey. Aku nggak tau kenapa Dimas jadi berubah, bukannya emang tugas sahabat untuk berbagi. Apa aku salah jika aku mencurahkan isi hatiku pada sahabatku sendiri. Dimas sangat menyebalkan.

“Dim!” teriaku saat melihat Dimas duduk sendiri di depan kelasnya. Semenjak aku dekat dengan Rey, aku tidak lagi pulang bersama Dimas. Karena Rey selalu mengajakku jalan-jalan sepulang sekolah. “Dimas!” ulangku lagi. Dia tetap diam, seolah pura-pura tidak mendengarku. “Kamu kenapa sih? Kamu beda sekarang, kamu nggak asik” kataku yang kini sudah berada di sampingnya. Dia tetap diam. Aku melihat sosok asing di mata Dimas. “Dim.. kamu kenapa sih? Jawab dong. Aku salah apa sih sama kamu” teriakku sambil menggoyang-goyang tangannya. Dia langsung memegang tanganku, genggamannya kuat, tatapannya sangat tajam. “Apa sih Dim. Sakit tau” teriaku sambil berusaha melepas genggamannya. Genggaman itu begitu kuat, sekuat tatapan matanya. Aku hanya diam menatapnya. “Kamu ingin tau kesalahanmu?” katanya lirih tapi tatapannya masih tajam. Aku hanya mengangguk. Aku takut. Ini tidak seperti Dimas yang aku kenal selama ini. “Karena kamu bandel. Kamu bandel Tania” katanya lagi. Aku membalas dengan tatapan tak mengerti. “Rey, cowok yang kamu suka, yang bahkan kamu bilang kamu mencintainya. Dia itu cowok brengsek” katanya sambil melemaskan genggaman tangannya. Aku langsung menarik tanganku dan meletakkan tamparan di pipinya. Dia terkejut. “Kamu nggak usah sok tau” teriaku sambil berlalu meninggalkannya. Bagaimana bisa dia bilang Rey brengsek. Aku udah lama kenal Rey, dan dia sangat jauh sekali dari tipe seperti itu. Aku benar-benar marah pada Dimas. Aku benci dia. Aku kecewa padanya. Bagaimana mungkin sahabat bisa setega itu. Dia bahkan tidak kenal Rey.

Setelah pertengkaran itu, aku tidak lagi peduli dengan Dimas. Dan yang paling menyenangkan, kini hubunganku dengan Rey sudah bukan hanya teman maupun teman dekat. Kini kita resmi pacaran. Dia menyatakan perasaannya saat aku diundang ke pesta ulang tahunnya. Dia mengatakan mencintaiku di hadapan banyak orang termasuk orang tuanya. Betapa romantisnya dia. Dan betapa aku merasa berharga baginya. Sekarang aku bisa buktiin kalau kata-kata Dimas itu tidak benar. Aku dan Rey selalu bersama ke manapun, sampai-sampai teman sekelasku menjuluki kami lem dan perangko, lengket terus.

Sudah hampir 3 bulan hubunganku dengan Rey, dan hampir 3 bulan juga pertengkaranku dengan Dimas belum selesai. Sebenarnya aku sudah memaafkan Dimas, dan aku sering merindukannya. Tapi dia selalu menghindariku. Dan aku mendengar kabar dari teman sekelasnya, kalau dia pacaran dengan salah satu teman sekelasnya. Aku ikut senang. Ternyata masih ada yang mau dengan Jerapah bodohku. “Sayang.. makan yuk. Laper” katanya dengan manja. “Iya sayang.. yuk” jawabku menyambut tangannya. Kita lalu menuju kantin, sepanjang jalan dia masih menggenggamku. Seakan takut kehilanganku. Aku sangat bahagia. Dan aku sangat mencintai Rey. Saat sampai di kantin aku melihat Dimas duduk bersama seorang cewek. Mungkin itu pacarnya. “Hai Dim..” sapaku saat melewati mejanya. Dia tetap diam tanpa menatapku, akhirnya cewek di sebelahnya yang menyambut sapaanku dengan senyum. “Sayang.. kamu pesan apa?” teriak Rey. Aku langsung berlari ke arahnya dan meninggalkan Dimas yang masih diam. Setelah makan siang itu, aku terus memikirkan Dimas. Apa dia benar-benar marah padaku. Tapi kan dia yang salah, seharusnya aku yang masih marah. Ah sudahlah. Dia memang menyebalkan. 

Kini sudah memasuki tahun ajaran baru. Aku senang dan sekaligus sedih. Senangnya aku kembali menjadi juara kelas, tapi yang menyedihkan aku tidak lagi sekelas dengan Rey. Kita di bagi kelas lagi saat kelas 3. Aku di IPA 1 yang merupakan kelas internasional dan Rey tetap di IPA 4. Tapi itu hanya awal, kini semua sama saja. Walaupun aku dan Rey tidak sekelas tapi kita masih ke mana-mana bersama. Dan kini aku semakin yakin padanya. Aku benar-benar mencintainya dan entah sudah berapa banyak cinta yang aku berikan padanya. Tapi aku sangat bahagia. Di kelas internasional, jadwalku semakin padat. Sangat berbeda dengan kelas lain, dan itu membuat jadwal pulang sekolah kami berbeda. Kelas Rey pulang 3 jam lebih awal dari kelasku. Awalnya Rey ingin tetap menungguku, tapi karena aku menolak jadi dia terpaksa pulang duluan. Sebenarnya aku sangat senang jika Rey menunggu, tapi aku takut membuatnya terlalu capek. Toh besoknya kita juga ketemu lagi. 

Sudah setahun lebih hubunganku dengan Rey, aku semakin mencintainya. Tapi entah kenapa aku merasa ada yang aneh dari Rey. Tatapannya sudah tak seperti dulu. Awalnya aku berpikir positif, bahwa mungkin karena dia lelah. Tapi esoknya pun dia tetap seperti itu, kini ia sering sibuk dengan ponselnya daripada mendengarku. Sempat muncul kecurigaan. Tapi aku berusaha menghilangkan pikiran itu. “Sayang.. beli es krim yuk” kataku manja. “Iya ayo” katanya sambil berdiri dan masih terus fokus dengan ponselnya, tanpa melihat ke arahku. “Ponsel terus. Chatting-an sama siapa sih?” kataku kesal. “Temen sayang, jangan ngambek ah. Kayak anak kecil tau” katanya menghiburku, tapi masih fokus lagi ke ponselnya. “Tau ah.. ponsel aja terus” kataku kesal sambil meninggalkannya pergi. Aku berharap saat itu dia akan mengejarku, tapi nyatanya dia masih asyik dengan ponselnya. Aku semakin dongkol, dan pulang tanpa pamit padanya. Malamnya dia meneleponku berkali-kali, tapi tak satupun kujawab. Aku sangat kesal padanya. Saat seperti ini aku merindukan Dimas. Apa kabar dia? Sudah lama sekali aku tak melihatnya. Apa aku coba menghubunginya. Nada sambung terus terdengar, tapi tak ada jawaban apa-apa. Apa dia sudah membenciku. Aku menyesal menamparnya waktu itu. Aku terlalu berlebihan. Aku ingin minta maaf padanya, tapi dia masih tidak bisa dihubungi.

Esoknya Rey tidak masuk sekolah. Kata teman sekelasnya dia sedang ada pertandingan basket. Aku berpikir sejenak. Sejak kapan dia jadi suka main basket. Mungkin karena dia bosan di rumah. Aku jadi merasa bersalah, aku terlalu sering mengabaikannya. Untuk masalah kemarin aku sudah memaafkannya, toh aku juga yang salah. Mungkin aku harus memberinya kejutan, aku akan datang menonton pertandingannya. Mungkin dia akan senang. Aku bisa membawakannya minum dan masakan buatanku, toh pertandingannya masih jam 5 sore. 

Selesai jam pelajaran aku langsung buru-buru pulang ke rumah, menyiapkan masakan buat Rey dan berangkat menuju tempat pertandingannya. Sesampai di sana, aku mencari Rey. Tapi aku belum menemukannya. Padahal aku sudah menyusuri setiap sudut lapangan. Terpaksa aku harus menghubunginya, walaupun ini menjadi tidak surprice lagi. Tapi tak apalah, setidaknya aku ingin minta maaf karena masalah kemarin. Aku mencari ponselku, dan ternyata masih tertinggal di motorku. Aku kembali ke parkiran dengan buru-buru, berharap ponselku belum berpindah tempat. Sebelum sampai parkiran aku mendengar suara yang tak asing di telingaku. “Sayang.. masakan kamu enak deh. Kamu pinter banget” itu suara Rey. Dan kemudian di susul suara tawa perempuan. Mendadak seperti ada ribuan batu yang menghantam dadaku. Rasanya sakit sekali. Aku bergegas mencari asal suara itu. Lalu terlihat seorang perempuan memakai kostum basket duduk di sebelah Rey sambil meletakkan kepalanya di bahunya. Seketika itu pula darahku berhenti, dan makanan yang aku persiapkan untuk Rey tak bisa kugenggam lagi. Kotak makan itu jatuh. Suara itu membuat Rey dan perempuan itu menoleh, aku langsung berlari meninggalkan mereka, Rey dengan wajah kaget berusaha mengejarku. “Tania.. Sayang..” teriaknya. Aku masih tetap berlari, aku tidak ingin mendengarnya. “Dengar dulu.. aku bisa jelasin. Dia itu temenku, cuma temen” jelasnya. “Temen macam apa yang kamu maksud? Kayak gitu kamu bilang temen, pantesan kamu akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan ponselmu. Dan sejak kapan kamu suka basket? Ternyata itu alasannya” teriakku sambil terisak. “Maaf sayang.. begini.. aku bisa jelasin ke kamu, tapi dengerin aku dulu” katanya sambil menggenggam tanganku. “Itu semua udah jelas Rey, nggak ada lagi yang perlu dijelasin. Kita putus” kata terakhir itu membuat jantungku seakan berhenti. “Sayang, tolong beri aku kesempatan. Ini nggak seperti yang kamu kira. Aku masih mencintaimu” katanya memohon. “Ternyata benar kata Dimas, kamu brengsek” aku langsung pergi meninggalkannya yang masih terdiam karena tamparanku. 

Aku menaiki motor tanpa arah. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Aku berhenti di bawah pohon besar, aku menangis sejadi-jadinya di situ. “Tania?” suara seseorang yang kurindukan. “Hei! Kamu kenapa? Kamu nggak papa kan? Ada yang sakit? Kamu jatuh? Ada yang ngapa-ngapain kamu? Kamu kenapa? Jawab aku! Jawab aku Tan!” suara itu bertubi-tubi menghujaniku dengan pertanyaan. Wajahnya terlihat sangat pucat. Aku tak menjawab dan langsung memeluk Dimas. Aku menangis di pelukannya. Dia membelai rambutku, menenangkanku. “Kamu benar Dim, Rey itu brengsek” kataku sambil keluar dari pelukannya. “Aku kan sudah bilang dari dulu, tapi kamu bandel” katanya lembut sambil mengusap air mataku. “Aku dulu ingin memberi tahumu banyak hal tentang dia, tapi kamu malah pergi dan meninggalkan bekas tangan di sini” dia menunjuk pipinya sambil tersenyum. “Maafin aku Dim” kataku lirih. “Aku juga minta maaf. Sebagai sahabat aku seharusnya menyelamatkanmu, bukan malah mendiamkanmu selama ini. Maafkan Jerapah bodoh ini ya Kelinci buletku” katanya sambil menggenggam tanganku. Aku hanya tersenyum dan kembali memeluknya. Pelukannya sangat nyaman, ini yang selama ini sangat kurindukan. “Kita masih sahabatan kayak dulu kan” kataku masih dalam peluknya. “Aku sih nggak mau. Aku takut nggak bisa jagain kamu lagi” katanya sambil tertawa. Aku langsung melepas pelukanku dan memasang wajah takut. “Aku ingin lebih dari itu Tan.. Aku sayang kamu, lebih tepatnya aku mencintaimu” katanya sambil menatap lembut mataku. Ucapannya terasa hangat, sampai membuat hatiku berdegup tak karuan. “Dasar Jerapah bodoh, bisa-bisanya kamu menggodaku. Aku tau kamu cuma bercanda. Kamu sudah punya pacar” jawabku kesal. “Aku seriuh Tan.. aku mencintaimu jauh sebelum persahabatan kita dimulai. Aku serius. Dan siapa bilang aku punya pacar?” kini aku menangkap ketegasan dari kata-katanya. Aku tak melihat lelucon di mata bulatnya. “Temenmu sekelas. Dan cewek yang di kantin waktu itu bukankah itu pacar kamu?” kataku lagi. Dia tertawa “Itu bohong. Cewek yang di kantin itu pacarnya temenku” katanya sambil tertawa geli. Aku membalas dengan tersenyum malu. “Tan.. aku beneran sayang kamu, aku cinta kamu. Aku nggak ingin kamu terluka lagi. Aku ingin benar-benar menjagamu” katanya kini dengan sangat serius. “Dasar Jerapah bodoh. Kenapa nggak bilang dari dulu sih? Dasar bodoh” teriakku sambil kembali menangis memeluknya. Kini dengan tangisan bahagia. 

Terkadang hati perlu berputar, mencari seseorang yang mampu mengisi bagian dalam puzzle kehidupan. Mengarungi manis pahitnya peristiwa, suka dan duka kisah cinta. Hingga kembali menemukan pasangan yang tepat. Dan puzzle itupun kini telah lengkap. Dengan untaian kata cinta, yang dimulai dari indahnya persahabatan. Selesai.
               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Fra, Sekali Lagi

Sudah lama aku berjanji tak akan menulis tentangmu lagi, tapi setiap kali hujan jatuh di awal Oktober, namamu selalu lolos dari ingatanku ya...